Sebelum aku memulai cerita ini, aku mohon maaf
jika ada pihak-2 yang tidak berkenan dengan ceritaku
ini, terutama keluargaku. Untuk itu nama-2 orang dan
tempat tidak aku sebutkan. Aku ucapkan terima kasih
untuk Retno (bukan nama sebenarnya) dari Univ.T
dikotaku yang mau menuliskan kisah sejatiku ini.
Semoga kisah sejati ini menjadi inspirasi buat orang
yang membacanya atau mengalami hal yang sama.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah
pada kita semua. Amin.
Panggil saja aku "Mawar", berusia 30 th-an yang
lahir diluar P.Jawa. Aku anak terakhir dari 4
bersaudara. Kakak pertama dan kedua adalah laki-laki,
sedangkan yang ketiga perempuan.
Kami berasal dari keluarga keturunan dan merupakan
generasi ke 4 yang sudah menetap di negeri ini.
Kakek buyut adalah pendatang dari negeri jauh di awal
abad 20.
Keluarga kami memulai bisnis benar-benar dari bawah,
menurut cerita orang tua kami, dulu kakek buyut hanya
jualan dengan bahan kebutuhan pokok dengan dipikul
seperti gula, garam, beras, dll keluar masuk kampung.
Usahanya baru berkembang pesta setelah pada tahun-2
awal kemerdekaan, pemerintah mulai menggalakkan usaha
yang dilakukan oleh bangsa sendiri/pribumi.
Waktu itu dikenal istilah Ali-Baba. Ali untuk
panggilan pribumi, Baba untuk warga keturunan seperti
kami. Untuk pengusaha pribumi diberi kemudahan izin
usaha, bahkan untuk mengimport dari negara lain. Namun
mereka umumnya tidak punya banyak modal.
Ketika itu warga keturunan yang punya modal kemudian
membeli izin usaha yang diperoleh para pribumi
tersebut, sehingga dengan mudah melakukan
eksport-import dengan negara tetangga
(Singapura,Malaysia, Hongkong) yang waktu itu juga
dikuasai etnis keturunan seperti kami.
Singkat cerita, bisnis keluarga kami semakin besar dan
merambah segala bidang. Mulai tambang,property,
perkebunan,dll. Bisa dibilang kekayaan keluarga diatas
rata-rata orang kaya dinegeri ini, above than ordinary
rich.
Kekayaan yang melimpah ini kadangkala sampai
membuat risau orang tua kami, yaitu seandainya kami
sekeluarga tiba-tiba meninggal sehingga tak ada yang
mengurus harta yang sedemikian banyaknya.
Untuk itu, kami sekeluarga tak pernah melakukan
perjalanan bersama-sama dengan pesawat.
Andai kami akan berlibur pada saat dan tempat yang
sama, maka biasanya kami dibagi menjadi dua atau tiga
kali penerbangan. Papa mama satu pesawat, dan kami
anaknya dibagi dengan 2 penerbangan berikutnya.
Sehingga apabila terjadi suatu musibah, maka akan
tetap ada sebagian keluarga kami yang selamat, dan
tetap bisa mengurus bisnis dan kekayaan kami.
Aku sengaja ceritakan latar belakang keluarga ini,
sebab ini berhubungan secara emosi dengan kisahku
selanjutnya.
Papa lahir dan dibesarkan di pulau ini, selepas
SMA beliau sekolah bisnis di negeri H, sehingga begitu
pulang beliau menjadi businessman yang handal, dan
mempunyai relasi bisnis di berbagai negara.
Papa sebenarnya orang yang rendah hati,pendiam,
bicaranya terukur dan seperlunya, jarang marah pada
anak-anaknya. Sedangkan mama, sebenarnya berasal dari
pulau lain, dia dulu pernah bekerja pada perusahaan
kakek kami (orang tua papa), sebelum akhirnya bertemu
papa dan menikah.
Mama orangnya keras,pintar,lincah,banyak pergaulan.
Sehingga kami kadang berpikir, papa sepertinya takluk
pada mama. Banyak kebijakan perusahaan yang berasal
dari ide mama, dan selalu sukses.
Papa dan mama memang pasangan yang serasi, saling
mengisi kekurangan.
Masa kecil kulewati dengan penuh kebahagiaan.
Dari SD sampai SMA aku disekolahkan di sekolah swasta
terkemuka di kota kami, yang siswanya banyak anak-anak
pejabat, bupati, gubernur, dll. Aku berbaur dengan
siapapun tanpa pandang golongan, agama dan ras.
Kadang aku diundang mampir bermain kerumah mereka
sepulang sekolah, sehingga aku kenal lebih dekat
dengan keluarga mereka. Ini pula yang kelak bermanfaat
untuk perusahaan keluargaku.
Di sekolah kami ada pelajaran agama untuk tiap
pemeluknya. Setiap ada jadwal pelajaran agama
tertentu, pemeluk agama yang lain diperbolehkan keluar
kelas, tapi boleh juga tetap tinggal dikelas apabila
menghendaki. Misalnya hari ini ada pelajaran agama
Islam, maka siswa non-muslim diperbolehkan keluar. Dan
begitu pula sebaliknya, bila ada pelajaran agama lain.
Tapi aku sendiri lebih sering tetap tinggal dikelas
mendengarkan apa yang diajarkan ibu guru agama Islam
di kelas kami.
Saudaraku semua..., entah kenapa aku yang sejak
lahir dididik secara non muslim, yang tiap minggu
beribadah di tempat ibadah kami, justru tertarik
dengan ajaran agama Islam.
Aku sendiri tidak tahu datangnya dari mana, semacam
ada panggilan dari lubuk hati yang dalam. Tapi saat
itu aku pikir mungkin ini hanya rasa ingin tahu saja,
bukan mendalami lebih dan mendalam.
Tiap mendengar azan, entah kenapa hati selalu
bergetar.
Di rumahku yang besar , kadang hanya aku sendiri.
Papa dan mama selalu sibuk di Jakarta, sehingga hanya
beberapa hari di rumah dalam sebulan.
Kakak-kakakku ada yang kuliah di LN, sehingga meskipun
rumah kami punya 6 kamar yang besar-besar yang bisa
menampung 20 orang, hanya dihuni aku sendiri.
Pembantu,sopir,satpam tinggal di paviliun khusus untuk
mereka yang terpisah dari rumah induk.
Dalam kesunyian itu, hatiku serasa sejuk tiap mendenga
ayat suci Al-Qur'an yang kadang secara tak sengaja aku
dengarkan di TV.
Kembali ke palajaran agama di kelas. Entah kenapa
aku makin tertarik untuk mendalami ajaran agama Islam
setiap ada pelajaran Islam di kelas.
Melihat ibu guru yang selalu berkerudung dengan wajah
bersih dan bersinar, hatiku terasa sejuk.
Dengan melihat wajah ibu guru itu saja aku sudah
merasa damai.
Tanpa kusadari kadang aku mencatat apa yang
diajarkannya. Bahkan aku mulai hapal ayat-ayat yang
pendek-pendek.
Itu semua benar-benar terjadi begitu saja, tanpa
kusadari dan kucegah. Pernah aku kepergok sedang
mencatat secara refleks tentang haji yang sedang dia
tulis di papan tulis. Dia menghampiriku, jantungku
berdebar keras membayangkan kemungkinan aku bakal
diusir dari kelas.
Tapi beliau malah tersenyum ramah ketika melihat
catatan yang kutulis sambil berkata,
"Insya Allah, kelak suatu saat Mawar bersama ibu bisa
melaksanakan ibadah Haji ya..."
Sejak saat itu hubunganku dengan Ibu Guru (sebut saja
Bu Guru Aisyah) makin akrab. Aku hampir nggak sabar
menunggu datangnya hari pelajaran ibu Aisyah.
Hubunganku dengan beliau bagai anak dan ibu.
Tapi saat itu aku tetap mengikuti pelajaran agama yang
masih kuanut, walau lebih banyak melamun, bahkan aku
tidak mencatatnya sama sekali apa yang diajarkan.
Sebagai gadis remaja, tinggiku sekitar 160 cm,
tentu sedang mekar-mekarnya dan giat-giatnya mencari
pacar.
Teman-teman banyak yang mengatakan kalau tubuhku
indah, proporsional, berwajah oriental, bakalan banyak
menarik perhatian laki-laki. Plus latar belakang
keluarga yang amat berkecukupan, akan makin banyak
laki-laki yang tergila-gila padaku.
Tapi entah kenapa saat itu aku tidak tertarik dengan
laki-laki yang satu etnis denganku.
Bila tiap hari Jum'at melihat siswa pria melakukan
ibadah shalat Jum'at hatiku langsung bergetar,
membayangkan andai salah seorang dari mereka adalah
pacarku dengan wajah bersih bersinar dan masih basah
oleh tetesan air wudhu, berjalan ke masjid di seberang
sekolah. Ah... alangkah indahnya membayangkan
wajah-wajah tersebut.
Tapi saat itu aku tahu diri, aku yang berasal dari
etnis keturunan, apa mungkin ada laki-laki yang
pribumi yang mau menjadikan aku sebagai pacarnya.
Aku tahu masih banyak dari mereka yang masih
membedakan ras, dan bila berpacaran dengan ras kami
masih dianggap hal yang memalukan. Bahkan bisa jadi
bahan ejekan dan gunjingan di lingkungan keluarganya.
Aku pernah pacaran dengan anak bupati dikotaku.
Tapi dia kemudian memutuskan hubungan denganku,
dikarenakan ayahnya akan mencalonkan diri menjadi
gubernur, dan ayahnya mengatakan kalau dia tidak mau
ada anggota keluarganya yang bisa menghambat
pencalonannya tersebut. Misalnya, anaknya berpacaran
dengan ras lain. Walau alasan itu terasa sangat
mengada-ada tapi tetap aku terima dengan lapang dada.
Memang aku Sudah menyadari kalau bakal ada penolakan,
karena aku berasal dari etnis non pribumi.
Aku tahu orangtuanya tentu tak akan merestui anaknya
berhubungan terlalu jauh dengan orang yang bukan dari
ras mereka dan berbeda agama.
Walau begitu, hatiku sudah bulat untuk kelak memiliki
pasangan hidup seorang pribumi, dan bahkan aku
bersedia memeluk Islam sebagai agamaku.
Kelak keputusan hidupku ini akan menjadi perjalanan
panjang dan penuh cobaan dalam hidupku.
Selepas SMA aku melanjutkan studi ke Australia,
kemudian dilanjutkan ke Amerika, mengikuti
kakak-kakakku yang sudah berada disana.
Tak banyak yang perlu aku ceritakan tentang masa
studiku disana. Hampir 5 th kemudian aku kembali
dengan gelar master ditangan dan mengabdi ke
perusahaan keluargaku untuk membesarkan bisnis mereka.
Dalam waktu singkat perusahaan kami memperoleh profit
yang meningkat dan terus membesar, serta mulai
merambah ke banyak sektor bisnis.
Aku memiliki banyak akses ke para petinggi didaerahku,
karena dimasa sekolahku dulu aku sudah mengenal
beberapa keluarga mereka.
Semua perizinan yang menyangkut perusahaanku, bisa
kuselesaikan dengan mudah.
Aku masih tetap melajang di pertengahan usia 20
tahunan. Banyak pria yang berusaha menarik
perhatianku.
Dari pengusaha muda yang sukses sampai pemilik
perusahaan besar.
Tapi hatiku tak bergetar sama sekali. Aku belum
menemukan seseorang yang benar-benar jadi soulmate-ku.
Kalau sekedar mencari suami amatlah mudah bagiku,
ibaratnya hanya menjentikkan jari saja maka puluhan
pria akan mendatangiku.
Tapi aku benar-benar hanya mencari seorang soulmate,
belahan jiwa sejati untuk mendampingiku.
Sampai suatu ketika, perusahaan kami memperoleh
karyawan baru dari kantor cabang kami di P.Jawa.
Orangnya 3 tahun lebih tua dariku, wajahnya bersih,
dia berasal dari etnis pribumi Jawa.
Tutur katanya lemah lembut, sopan, bertubuh tinggi,
proporsional, dan ah.... ini dia. Dia seorang muslim
yan shaleh. Sejak kedatangannya dikantor kami, para
wanita nggak habis-habisnya membicarakan tentang dia,
dan berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan dia.
Menurut laporan kantor kami, dia orangnya amat rajin,
jujur dan berprestasi dikantor yang lama., sehingga
dia dipromosikan ke pekerjaan yang lebih tinggi dan
menantang dikantor kami ini.
Kebetulan pekerjaaan yang akan dia kerjakan, akan
menjadi satu divisi denganku. Sehingga aku akan banyak
berhubungan dengan dia.
Semula, dibulan-bulan pertama aku masih 'jaim'
alias jaga image, karena aku ini adalah anak dari
pemilik perusahaan ini.
Tapi lama-lama hatiku nggak bisa berbohong. Hatiku...
sedikit tapi pasti akhirnya luluh juga. Aku mulai
jatuh cinta.
Pernah suatu ketika setelah dari kantor gubernur aku
satu mobil dengan dia. Ditengah jalan dia minta ijin
padaku untuk berhenti sebentar di masjid raya dikota
untuk shalat ashar.
Dari dalam mobil, aku perhatikan bagaimana dia
berwudhu , lalu melangkah masuk ke masjid dan
melakukan ibadah. Ahh ...,andaikan aku kelak bisa
mengikuti di belakangnya....
Awalnya aku memanggil dia dengan sebutan formal di
kantor 'Pak' dan dia memanggilku 'Ibu', tapi
lama-kelamaan secara tak sengaja aku mulai memanggil
dia dengan 'Mas', karena aku sering melihat keluarga
jawa kalau memanggil orang yang lebih tua, suami,
kakak dengan sebutan mas.
Mulanya dia agak rikuh tiap kupanggil demikian, tapi
lama-lama terbiasa. Namun itu hanya kulakukan apabila
sedang berdua saja, tidak didepan orang-orang kantor.
Akupun mulai minta dia memanggilku dengan 'Dik' saja,
karena aku mulai risih tiap kali dia panggil aku 'Ibu
Mawar'.
Seiring dengan waktu, sesuai pepatah Jawa 'witing
tresno jalaran soko kulino', cinta akan tumbuh karena
terbiasa selalu bersama-sama.
Bisa dibayangkan bagaimana awal kisah cinta kami
berada didalam mobil yang disopiri oleh supirku, kami
sama-sama duduk dibelakang.
Awalnya kami hanya membicarakan dan membahas
berkas-berkas pekerjaan, kadang secara tak sengaja
tangan kami saling bersentuhan. Dan dia secara sopan
segera menarik, dan minta maaf. Ah..sebel rasanya,
padahal akulah yang menginginkannya.
Tapi itu tak berlangsung lama, akhirnya dia takluk
juga. Kadang aku biarkan tangannya memegang berkas,
lalu aku pura-pura membahasnya sambil tanganku
menyentuh jari dan tangannya.
Yah, kadang aku genggam jarinya, dan lama-kelamaan dia
memberikan respon dengan menggenggam juga tanganku.
Ahh.....
Kadang kalau mobil kami sudah akan sampai ditujuan,
aku pura-pura minta sopirku untuk kembali ketempat
lain. Aku pura-pura mengatakan ada yang tertinggal,
padahal aku hanya ingin berlama-lama dengan dia (sebut
saja mas Fariz) di mobil.
Pernah suatu ketika, aku pura-pura ada yang tertinggal
dan kusuruh sopir membawa kami berdua kerumahku.
Begitu mobil memasuki halaman rumahku yang besar,
wajahnya tampak pucat pasi. Dia tampak ketakutan dan
gugup. Dia bilang, nanti kalau papaku (alias big bos
dia) akan marah kalau melihat dia pada jam kerja
begini malah mampir ke rumah dia.
Aku bilang tak perlu khawatir, bukankah aku,anaknya
big bos yang membawa dia kesini.
Hampir setahun sudah dia bekerja bersamaku, dan
hubungan kami semakin erat, namun dia belum menyatakan
cintanya padaku. Mungkin dia takut kalau aku akan
menolaknya, apalagi keyakinan kami pada saat itu masih
berlainan.
Hingga suatu ketika dia menelponku, dan mengajakku
bertemu di suatu restoran di luar kota serta memintaku
datang tanpa sopir.
Dia tidak mau ada orang kantor yang melihat kami
berdua.
Di restoran itu dia menyatakan cintanya padaku, dan...
langsung saat itu juga aku terima cintanya.
Aku katakan padanya, kalau aku merasa mas Fariz adalah
soulmate-ku. Aku akan bersedia memeluk Islam mengikuti
agama yang dia anut. Aku juga katakan, kalau aku
memang sudah sejak lama tertarik dengan agama Islam,
jadi semoga mas Fariz bisa menjadi pembimbingku.
Aku melihat air mata meleleh dari matanya.
Seumur hidupku, baru kali ini aku melihat seorang
laki-laki berlinang air mata karena aku, tak terasa
akupun tak bisa menahan air mataku juga meleleh
dipipiku.
Aku yakin, kalau aku sudah mendapatkan soulmate-ku,
dan aku akan mempertahankannya sampai kapanpun dan
dengan cara apapun.
Di kantor kami tetap bekerja biasa, seperti tak
ada hubungan apapun. Tapi diluar kantor kami
bebar-benar sepasang kekasih yang lagi jatuh cinta.
Dia mulai mengajariku shalat, dan sedikit demi sedikit
bacaan do'a. Dia memang benar-benar lelaki yang taat,
menjaga kesopananku, tak pernah melebihi batas, walau
kadang aku yang menggoda tapi dia selalu bilang,
sabaar...tunggu tanggal mainnya. Tapi serapat apapun
kami tutupi hubungan kami, akhirnya sedikit demi
sedikit bocor juga oleh orang-orang kantor kami.
Sampai akhirnya terdengar di telinga papaku.
Suatu hari tiba-tiba papa datang ke ruanganku,
padahal papa sangat jarang datang ke ruang kerjaku.
Kalau ada keperluan biasanya aku yang dipanggil
menghadap. Aku lalu diajak bicara berdua dengan
beliau.
Mula-mula papa tidak menanyakan hubunganku dengan mas
Fariz, tapi sedikit demi sedikit dia mulai mengarahkan
pembicaraan ke arah sana. Sampai akhirnya beliau
menanyakan kebenaran hubunganku dengan mas Fariz.
Aku tak sanggup menjawab, wajahku tertunduk. Papa
terus menatapku, menunggu jawaban. Aku tak sanggup
berbohong, kalau aku bilang tidak, itu akan bertolak
belakang dengan hatiku. Sebaliknya kalau aku bilang
ya, aku khawatir pekerjaan mas Fariz menjadi
taruhannya.
Akhirnya aku hanya bisa menangis.
Keesokan harinya mas Faris tidak datang lagi di
kantor. Menurut orang kantor, ia dipindahkan kembali
ke pulau Jawa mulai hari ini. Dan aku mulai kehilangan
kontak dengannya.
Seminggu kemudian dia menelponku, dengan panjang lebar
dia cerita bahwa pada hari itu, setelah papa
menemuiku, ternyata papa langsung menemui mas Faris,
dan esok paginya dia harus ke kantor yang lama.
Dia juga cerita kalau keadaannya makin parah, karena
nyaris tiap karyawan di kantornya sudah mendengar
kabar tentang hubungannya denganku.
Banyak yang menggunjingkan, kalau mas Fariz mengincar
harta dan kedudukan, karena berpacaran dengan anak
pemilik perusahaan. Dia sampai berulangkali menyebut
nama Allah, dan bersumpah kalau dia mencintaiku bukan
karena itu semua.
Dua minggu kemudian, dia memutuskan mengundurkan diri
dari perusahaan kami, tapi kami tetap berhubungan
melalui tilpun. Dia berjanji akan mencoba mencari
pekerjaaan di perusahaan lain yang punya cabang di
kotaku, sehingga bisa bekerja dikotaku dan kembali
dapat menemuiku.
Tuhan memang sudah berencana, akhirnya 3 bulan
kemudian mas Faris sudah mendapat pekerjaan dan
ditempatkan kembali dikotaku walau dengan gaji yang
lebih kecil.
Dia bilang sekarang sudah bebas berhubungan denganku,
karena sudah tak ada ikatan apa-apa dengan
perusahaanku. Tak ada yang bisa melarang.
Aku amat terharu, dia telah mengorbankan kariernya
karena aku. Aku berjanji, apapun yang terjadi aku tak
akan meninggalkan dirinya.
Sekarang kami bebas berhubungan, tak peduli lagi
dengan omongan orang-orang kantor, karena dia toh
sudah tidak bekerja lagi di perusahaan kami.
Tapi ternyata papa kembali mengetahui hal ini, dan
kali ini mama malahan ikut campur tangan. Aku
diceramahi habis-habisan.
Mereka sebenarnya tidak membeda-bedakan ras, mereka
tidak keberatan aku berhubungan dengan siapapun, tapi
mereka mulai curiga kalau aku mulai pindah keyakinan.
Dan itu kurang bisa mereka terima.
Aku sudah jelaskan baik-baik bahwa aku sudah cukup
dewasa dan bisa mengambil keputusan buat hidupku
sendiri tanpa tergantung papa dan mama.
Ternyata jawabanku ini justru membuat mereka murka dan
tersinggung. Mereka katakan bahwa tanpa mereka, jalan
hidupku tidak akan seperti ini.
Banyak orang yang rela mati demi merasakan hidup
seperti aku. Rumah mewah, supir yang siap tiap saat,
mobil mewah, uang melimpah, kemana pergi akan
dihormati orang, dll.
Mereka juga mengatakan, tanpa mereka aku tak akan
pernah sanggup memperoleh kehidupan seperti ini.
Aku hanya bisa menangis mendengar apa yang papa dan
mama katakan. Tapi hatiku sudah bulat, apapun yang
terjadi aku tak akan meninggalkan mas Fariz, cinta
pertamaku dan terakhir.
Walau orang tuaku terus menentang, cintaku pada
mas Fariz tak pernah surut. Aku makin giat memperdalam
agama Islam.
Seringkali, saat istirahat kantor aku pergi ke toko
buku besar di mall. Aku baca-baca tentang buku Islam.
Pernah aku mengajak orang kantor untuk ikut ke toko
buku tersebut. Dia menegurku, karena dia pikir aku
salah memilih bagian rak buku. Dia ingatkan kalau aku
berada di rak buku-buku Islam. Aku jawab, memang benar
karena aku mau membaca buku-buku tentang Islam.
Makin hari hubunganku dengan papa dan mama makin
renggang. Padahal aku sudah mencoba bicara sebaik
mungkin dengan mereka. Kakak-kakakku semua juga sudah
terprovokasi, mereka mulai menjauhiku.
Kedua kakak laki-laki sudah menikah dan tinggal di
Jakarta menjalankan perusahaan kami di sana, sehingga
papa dan mama sekarang lebih banyak menetap di kota
kami.
Di rumah, perlakuan mereka semakin berubah terhadapku.
Aku makin dianggap bukan lagi bagian dari keluarga
mereka. Pembantu di rumah baru disuruh memanggilku
apabila papa mama dan kakak perempuanku sudah selesai
makan, dan sisa makan merekalah yang aku makan.
Pembantu tidak diperbolehkan menambah makanan.
Bayangkan, aku harus makan makanan sisa dari mereka.
Andaikan mereka makan ayam, maka aku hanya kebagian
cakar dan kepalanya saja. Bisa dibayangkan betapa
sakit hatiku.
Tapi aku tetap bersabar, dan mas Fariz pun selalu
mengingatkan aku untuk tetap berbakti pada orangtua.
Padahal kalau aku mau, bisa saja aku pergi ke restoran
yang paling mahal dikotaku ini.
Puncak dari semua itu terjadi pada suatu malam.
Kakak perempuanku memang sebenarnya kasihan padaku,
sehingga kadang dia menyimpan sebagian makanan yang
baru dimasak didapur. Sehingga pada saat papa mama
selesai makan, dia diam-diam menghidangkan untukku.
Suatu ketika, secara tak terduga papa mama kembali ke
meja makan dan memergoki kakakku yang membawa makanan
yang dia simpan didapur untukku. Langsung mama merebut
piring yang dibawa kakak, dan melemparkan ke lantai.
Dia menyindir, bahwa kakak tak perlu kasihan padaku,
karena aku sanggup hidup tanpa diberi makan papa mama
dan bisa hidup mandiri tanpa mereka.
Ohh....rupanya mereka sudah amat membenciku. Hancur
hatiku pada saat itu.
aku hanya bisa menangis, tapi aku tak menyesal. Aku
akan terus bertahan dengan pilihan hidupku.
Mas Fariz menyarankan agar aku bicara baik-baik
dengan mama dan papa, mudah-mudahan mereka luluh dan
mau mengerti. Suatu malam, aku berkesempatan mendekati
dan berbicara dengan mereka secara baik-baik dan
sopan, dengan tak lupa aku minta maaf apabila aku
salah pada mereka.
Aku jelaskan baik-baik apa yang kurasakan dihatiku,
aku tumpahkan semuanya. Tapi itu justru membuat mereka
makin murka, mereka juga telah menuduhku telah terkena
guna-guna dan menyarankan aku supaya sadar.
Oh...ya Allah, aku ini sehat wal afiat. Insya allah
tak ada satupun guna-guna pada diriku.
Semua keinginanku adalah murni dari hatiku, panggilan
jiwaku, yang tak bisa lagi aku cegah.
Aku jelaskan pada mereka bahwa aku sudah cukup umur,
dan bukan lagi gadis remaja lagi. Sehingga apapun
keputusanku bisa aku pertanggungjawabkan.
Aku bisa mandiri andaikan keputusan hidupku ini memang
menghendaki demikian.
Papa mama tetap pada pendirian mereka, bahkan
menantangku kalau aku sanggup hidup sendiri, sekarang
juga serahkan seluruh harta yang kupunya selama ini,
yang kudapat selama hidup dengan mereka.
Karena tekatku sudah bulat, malam itu pula kuserahkan
seluruh kartu kredit, ATM, buku-buku bank pada mereka.
Uang yang aku punya benar-benar hanya tinggal yang ada
di dompetku.
Aku sepertinya tinggal menunggu waktu saja untuk
meninggalkan rumah ini. Esok paginya, karena ada suatu
keperluan aku ingin membuka almari besi tempat
penyimpanan surat-surat berharga dirumah kami.
Meskipun berulangkali aku coba membuka, tapi aku tetap
tak bisa membukanya. Rupanya nomor kombinasinya telah
diubah oleh papa mama.
Padahal didalamnya tersimpan barang-barang penting
pribadiku seperti ijazah, perhiasan, dll.
Aku mencoba telpon papa untuk menanyakan hal ini, tapi
lagi-lagi aku mendapat jawaban yang menyedihkan hati.
Papa menyindirku, kalau sanggup hidup mandiri, kenapa
masih mau membuka almari besi milik keluarga, pasti
didalamnya ada barang-barang yang mau dijual.
Aku benar-benar telah dikucilkan dan mereka
benar-benar mencoba menyiksaku dengan cara demikian,
sehingga mereka pikir aku akan menyerah dan akhirnya
mengikuti apa yang mereka mau.
Aku adukan itu semua pada mas Fariz, juga kukatakan
kalau aku akan meninggalkan rumah orang tuaku. Dia tak
bisa berkata apa-apa, hanya mengingatkan aku jangan
sampai aku memutuskan silaturrahmi dengan orang tua.
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku
benar-benar meninggalkan rumah. Aku akan tinggal kost
dekat kantorku. Aku berpamitan secara baik-baik pada
papa mamaku, tapi mereka menolehpun tidak.
Aku masih punya cukup uang didompet. Aku bersumpah tak
akan meminta uang lagi sepeserpun kepada mereka.
Aku bertekad akan membuktikan kata-kataku untuk hidup
mandiri tanpa harta dari siapapun demi mempertahankan
keyakinanku.
Selama aku kerja di perusahaan papaku, memang secara
formal aku digaji sesuai dengan posisi kerjaku di
perusahaan. Tapi disamping gaji tiap bulan, tentu
diluar formal perusahaan aku juga mendapat uang saku
dari papa yang lumayan banyak, hampir 20 kali lipat
dari gaji resmiku. Sehingga penghasilan total sebulan
bisa cukup untuk hidup mewah selama setahun.
Bahkan seluruh uang simpananku di bank sudah mencapai
angka 10 digit. Tentu itu bukan jumlah yang sedikit,
bahkan mungkin cukup untuk biaya hidup seumur hidupku
ttanpa harus kerja.
Aku berharap perusahaan masih memberikan gajiku, dan
itu memang kuanggap sebagai uang hasil kerjaku, bukan
hasil pemberian. Tapi di akhir bulan aku tak mendapat
sepeserpun, dan aku sudah minta diberikan secara cash.
Ketika kutanyakan ke bagian pembayaran gaji, ternyata
mereka telah diperintahkan oleh papa untuk menahan
gajiku.
Ya Allah, mereka benar-benar telah melakukan cara
apapun agar aku benar-benar menderita dan pada
akhirnya akan menyerah.
Saat itu juga aku langsung mengundurkan diri dan
kutinggalkan perusahaan itu selama-lamanya.
Ketika aku adukan hal ini pada mas Fariz, dia amat
sedih dan minta maaf kepadaku, karena gara-gara dia
hidupku jadi menderita.
Dia rela, andai aku tak kuat dan akan merubah
keputusanku. Aku peluk dia, dan aku pastikan kalau
keputusanku tak akan berubah, serta aku semakin ingin
hidup bersama dia.
Saat itu hanya dialah sandaran hidupku. Dengan
berlinang air mata dia sekali lagi menanyakan padaku,
apakah aku tidak menyesal dengan keputusanku, dan
apakah aku rela bila menjadi muslimah serta menjadi
istrinya.
Saat itu juga aku cium tangannya dan aku katakan kalau
aku akan korbankan seluruh kehidupanku hanya untuk
bisa hidup bersamanya. Aku tak akan mundur ataupun
menyesalinya, apapun yang terjadi aku akan
menghadapinya dengan ikhlas lahir dan bathin.
Singkat cerita, dengan diantar mas Fariz aku
mengucapkan dua kalimah syahadah di sebuah masjid
dikota kami, disaksikan imam masjid dan jamaah tsb.
Akhirnya penantian panjangku tercapai sudah, walau
harus mengorbankan kehidupanku. Namun aku tak pernah
menyesalinya.
Mas Faris lalu mengajakku segera menikah di kota
kelahirannya, karena kebetulan perusahaan tempat
kerjanya akan memindahkannya ke pulau Jawa.
Sebelum menikah, kami mendatangi rumah papa mama, kami
akan mohon restu baik-baik kepada mereka.
Tapi pak satpam yang berjaga di pintu gerbang
mengatakan kalau dia diperintahkan papa untuk tidak
membuka pintu apabila kami berdua datang.
Sebenarnya pak Satpam tersebut bersedia membuka pintu
karena dia masih mengenalku. Tapi aku melarangnya,
karena khawatir akan mencelakakan pekerjaan dia.
Cukup aku saja yang menderita, aku tak ingin orang
lain ikut terkena akibatnya. Lalu aku tinggalkan
secarik surat yang isinya memohon doa restu dari mama
papa, kalau aku akan menikah dengan mas Fariz. Juga
kau katakan kalau aku sudah jadi muslimah. Aku bisa
melihat mata pak Satpam itu berkaca-kaca sewaktu aku
katakan kalau aku sudah jadi mualaf.
Awalnya keluarga mas Fariz menanyakan tentang
ketidakhadiran keluargakau di pernikahan kami.
Tapi setelah mas Fariz bercerita dengan panjang lebar,
akhirnya keluarga mau memahami.
Kami menikah secara sederhana dikota tempat tinggal
keluarga mas Fariz. Mereka menerimaku dengan hangat,
sama sekali tidak mempermasalahkan ras keturunanku.
Bahkan ibu mertua sangat menyayangiku.
Setelah menikah, aku dan mas Fariz menetap di Jawa.
Aku sangat bahagia bisa menjadi pendamping hidupnya.
Aku merasakan dia bukan hanya sekedar suami, tapi
memang benar-benar soulmate hidupku yang aku cari-cari
sepanjang hidupku.
Kami hidup dirumah sederhana, dan hari-haripun aku
lalui dengan penuh kebahagiaan. Aku tak mengeluh
sedikitpun dengan pemberian dari penghasilan mas Fariz
yang dia berikan padaku.
Aku tidak lagi bekerja, karena aku benar-benar ingin
mengabdi pada suamiku. Disamping itu, semua ijazahku
masih tersimpan di almari besi papa, sehingga aku tak
bisa melamar kerja dimanapun.
Aku juga tak ingin meminta surat pengalaman kerja dari
perusahaan papaku. Aku ingin membuktikan kalau aku
bisa hidup mandiri dengan suamiku.
Mas Fariz sangat menyayangiku, tiap pagi dia memelukku
sebelum berangkat ke kantor. Tiap hari aku bawakan dia
'lunch box' untuk makan siang, karena aku tak mau
makanan yang masuk ke perutnya berasal dari masakan
orang lain.
Aku benar-benar posesif, ingin memiliki dan melayani
dia secara total. Setiap hari aku bangun duluan
sebelum dia bangun, dan aku baru tidur setelah dia
benar-benar tidur, untuk memastikan bahwa dia
benar-benar tak perlu aku layani lagi.
Aku siapkan celana, baju, kaus kaki tiap pagi sebelum
dia berangkat kerja. Sehingga dia tak perlu lagi
memikirkan pakaian apa yang harus dikenakan tiap
paginya. Bahkan aku potongkan kukunya bila sudah
terlihat panjang.
Pokoknya dia benar-benar telah kujadikan pangeran bagi
diriku.
Tiap malam sebelum tidur, kami selalu mengobrol dan
saling mengajarkan bahasa. Dia mengajariku bahasa
Jawa, sedangkan aku mengajarinya bahasa Mandarin.
Dia amat cepat belajar bahasa Mandarin, dalam waktu
singkat dia sudah menguasai beberapa kata yang umum
diucapkan. Kadang dia mengajakku bicara Mandarin
denganku bila dirumah.
Memang perusahaan tempat kerjanya adalah milik etnis
keturunan seperti aku dan banyak berhubungan dengan
warga keturunan, sehingga bila mampu berbahasa seperti
mereka akan merupakan keuntungan tambahan.
Suatu ketika dia pulang dengan membawa sepeda motor,
dia katakan kalau kantornya memberi pinjaman untuk
cicilan motor. Yah, memang hanya sepeda motor, tapi
aku sangat bahagia sekali dengan yang dia dapatkan.
Berulangkali dia minta maaf, karena tidak bisa
membelikan aku mobil mewah seperti yang pernah
kumiliki dulu.
Aku katakan padanya kalau motor yang sekarang kita
miliki bagiku jauh lebih mewah dari mobilku dulu.
Karena motor ini tidak sekedar dibeli dengan uang,
tapi juga dengan cinta, yang tak akan ternilai dengan
berapapun banyaknya uang.
Kehidupan perkawinan kami amat indah, jika berada
dirumah kami nyaris tak bisa berjauhan. Karena bagi
kami, tiap hari adalah bulan madu. Maka hanya dalam
setahun kemudian lahirlah anak kami yang pertama dan
merupakan satu-satunya.
Bayi laki-laki itu kami namai, sebut saja 'Faisal'.
Mas Fariz yang membacakan adzan dan qomat, ketika bayi
kami lahir.
Aku merasa lengkaplah sudah kebahagiannku. Tiap hari
aku bisa merasakan ada dua orang 'Fariz' di rumahku.
Saat mas Fariz kekantor, aku ditemani 'Fariz' kecil,
bayiku. Ohh..alangkah bahagianya.
Aku mencintai dua orang yang sama darah dagingnya.
Tiga tahun sudah Faisal hadir ditengah-tengah
kami. Mas Fariz terus bercita-cita ingin mendatangi
orang tuaku, oma dan opannya si Faisal. dia bena-benar
ingin memperkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku
dengan papa mamaku lagi. Dia berharap dengan kehadiran
Faisal, akan memluluhkan hati orangtuaku lagi.
Tapi tiap aku menelpon, mereka masih bersikap seperti
dulu. Bahkan ketika kukatakan bahwa mereka sudah
mempunyai cucu, mereka menjawab kalau mereka merasa
tidak mempunyai keturunan dariku. Ohh...malangnya
anakku.
Aku amat sedih, teganya mama papa berkata seperti itu.
Aku masih memaklumi bila mereka membenciku, tapi
jangan pada anakku,cucu mereka, darah daging mereka
sendiri.
Mas Fariz menyuruhku bersabar, dia percaya kelak papa
dan mama akan menerima kami.
Tapi sebelum harapan mas Fariz terpenuhi, musibah
mulai datang.....
Suatu ketika, mas Fariz pulang lebih awal. dia
merasa tidak enak badan, sepertinya masuk angin.
Aku menyuruhnya segera istirahat dan tidur, serta
memberinya obat. Malam harinya tubuhnya mulai panas
dan menggigil. Keesokan harinya dia kuantar ke dokter.
Waktu itu dokter mengatakan kalau mas Fariz hanya
demam biasa sehingga hanya diberi obat penurun panas
dan disuruh istirahat.
Tapi pada malamnya tubuhnya tetap panas dan menggigil,
bahkan sampai mengigau. Aku sudah ajak dia ke rumah
sakit keesokan harinya, tapi mas Fariz menolak. Dia
bilang hanya demam biasa,tak apa-apa, beberapa hari
lagi pasti sembuh.
Sampai hari ke empat kondisinya makin parah, akhirnya
dia pingsan bahkan hidungnya keluar darah. Dengan
pertolongan para tetangga, suamiku segera dibawa ke
RS.
Hasil pemeriksaan darah menunjukkan kalau trombositnya
hanya tinggal 26 ribu, padahal untuk orang normal
harus diatas 150 ribu. Mas Fariz terkena demam
berdarah.
Dokter menyalahkan aku, kenapa tidak segera dibawa ke
RS lebih awal, karena serangan DB terberat adalah pada
hari ke 5. Kalau kondisi tidak kuat, bisa amat bahaya.
Besoknya hari ke 5, memang benar-benar makin parah
kodisi suamiku, napasnya makin berat, trombositnya
belum beranjak naik, penyakit itu benar-benar sudah
menggerogoti suamiku.
Malam itu, setengah mengigau dia memanggil namaku, aku
genggam tangannya dan kudekatkan telinga ke mulutnya.
Aku bisa dengarkan dia mencoba mengucapkan sesuatu,
air matanya meleleh. Dia mencoba mengucapkan
kata-kata, "Maafkan aku."
Aku menenangkannya dengan mengatakan kalau tak ada
yang perlu dimaafkan, aku ikhlas lahir bathin
mendampingi dia.
Setelah mendengar kata-kataku, dia kelihatan tenang.
Lalu dalam satu tarikan nafas dia pun mengucapkan
kalimat,"Laailaahaillallah." Dan....diapun pergi
meninggalkan aku selama-lamanya, dipelukanku lagi.
Aku ingat, suatu ketika dia pernah berucap, andai
Tuhan mengijinkan dia ingin meninggal terlebih dulu
dari pada aku, dan berada dalam pelukanku. Sebab ia
ingin aku menjadi orang terakhir dalam hidupnya yang
dia lihat.
Aku sempat memarahi dia," Jangan bicara seperti itu."
Tapi dia berkata dengan serius,"Aku tidak akan sanggup
kalau kamu yang pergi meninggalkan aku lebih dulu."
Ternyata Allah benar-benar mengabulkan permohonannya.
Orang yang aku jadikan sandaran hidupku, kini telah
pergi selamanya. Tak terkira rasa sedih dan hancurnya
hatiku.
Andai aku tak ingat si kecil Faisal, mungkin aku ingin
segera menyusul mas Fariz di alam sana.
Mas Fariz benar-benar orang yang jujur dan baik.
Waktu acara pemakamannya, rekan-rekan kerja bahkan big
bos-nya juga hadir. Ketika aku tanyakan apakah ada
hutang piutang mas Fariz yang harus aku selesaikan,
mereka mengatakan tidak ada sama sekali. Bahkan
kantornya memberikan santunan 4 kali gaji, ditambah
uang duka dari rekan-rekannya.
Aku juga ditawari bekerja di perusahaan tersebut, tapi
untuk saat itu aku benar-benar tak sanggup melakukan
apapun. Aku merasa setengah dari nyawaku telah hilang.
Selama 3 bulan aku berduka, aku tak sanggup pergi dan
melakukan apapun. Bahkan tiap kali tidur, aku masih
membayangkan mas Fariz berada disampingku.
Akhirnya untuk sementara waktu aku tinggal bersama ibu
mertua, agar supaya Faisal ada yang mengasuh. Rumah
dan motor kujual, karena aku tak sanggup membayangkan
kenangan bersama mas Fariz setiap aku melihat benda
itu.
Hampir setengah tahun aku tinggal bersama mertua,
sampai akhirnya kuputuskan untuk kembali ke kota
asalku . Sebenarnya ibu mertua amat baik dan sayang
padaku. Tapi aku tahu diri, nggak mungkin selamanya
bergantung pada siapapun.
Aku harus mandiri untuk membesarkan anakku,
satu-satunya hartaku yang tersisa.
Aku pulang ke kota asalku dengan membawa sisa uang
yang kumiliki. Lalu aku mengontrak rumah dan membuka
toko kecil-kecilan didepan rumah.
Tapi mungkin karena aku terus berduka dan terbayang
suamiku, akibatnya aku kadang kurang memikirkan
usahaku ini. Sampai akhirnya usahaku ini bangkrut.
Toko pun aku tutup, uangku habis untuk membayar
tagihan para suplier barang, sementara hasil dari
penjualan tak seberapa menguntungkan.
Aku sebenarnya tidak putus asa, apapun aku jalani
asal halal.
Pernah aku mencoba jadi pelayan restoran, tapi hanya
tahan beberapa bulan karena anakku tidak ada yang
menjaga. Sampai akhirnya aku benar-benar kehabisan
uang, tak sanggup lagi membayar kontrakan.
Dengan membawa koper isi pakaian, kugendong anakku dan
berjalan tanpa tujuan. Aku benar-benar bingung akan
pergi kemana.
Pernah terlintas dibenak untuk kembali pada
keluargaku.
Tapi justru dengan kondisiku yang seperti ini pasti
akan membuat mereka merasa menang. Mereka akan tertawa
terbahak dan terus mengejekku seumur hidup, bahwa aku
gagal dalam memilih jalan hidup.
Akhirnya ditengah rasa putus asa, aku teringat masjid
tempat aku dulu mengucapkan syahadat pertama kali.
Masjid itu memang bukan masjid raya dikota kami, tapi
karena merupakan masjid tua dan bersejarah, maka
banyak jamaah yang datang. Aku berpikir, dulu aku
memulai jalan hidupku dari masjid ini, sehingga kalau
pun jalan hidupku akan berakhir, aku ingin berakhir di
masjid itu pula.
Aku datangi masjid tersebut dan aku shalat untuk mohon
petunjuk. Karena kelelahan, anakku akhirnya tertidur
disampingku.
Aku tak punya uang sama sekali untuk membeli makanan.
Akhirnya aku hanya bisa menangis. Rupanya tangisku
didengar oleh seorang bapak, dan beliau rupanya imam
masjid tersebut, dan dialah yang dulu membimbingku
membaca kalimat syahadat.
Aku tidak lupa dengan wajahnya, tapi dia pasti sudah
tak ingat dengan wajahku, karena wajahku sudah tak
sesegar dulu lagi.
Sewaktu aku perkenalkan diriku dan kukatakan bahwa aku
dulu mualaf yang beliau bimbing, dia langsung ingat
dan juga kaget dengan kondisiku yang seperti ini.
Akhirnya aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab aku
merasa tak ada lagi orang didunia ini yang aku jadikan
sandaran hidup.
Setelah mendengar ceritaku, dia menyuruhku agar
jangan pergi kemana-mana, dan tetap tinggal di masjid.
Beliau juga menyuruh salah seorang jamaah untuk
membelikan makanan untukku dan anakku.
Sebentar kemudian beliau pergi meninggalkan aku sambil
berpesanakan segera menemuiku.(Rupanya dia pergi untuk
mencari tempat yang bisa kutinggali).
Tak lama kemudian beliau kembali menemuiku, sembari
tersenyum dia katakan bahwa mulai malam ini aku sudah
memperoleh tempat tinggal.
Aku diajak ke belakang masjid, disitu ada sebuah
bangunan tambahan yang terdiri dari beberapa ruangan.
Biasanya ruangan itu untuk gudang penyimpan peralatan
masjid seperti tikar, kursi, dll.
Salah satu ruangnya tampak sudah kosong dan beliau
menunjuk bahwa itulah rumahku. Aku boleh menempatinya
selama aku mau. Ruang disebelahnya ditempati oleh pak
tua penjaga masjid, sehingga aku ada yang menemani.
Ruangan tersebut hanya berukuran kurang lebih 2x2 m.
Pak imam masjid itu juga menambahkan kalau nanti aku
diberikan honor sekedarnya, bila mau membantu-bantu
membersihkan masjid sehingga bisa untuk makan.
Bahkan beliau juga mengatakan kalau aku bisa datang
kerumahnya sekedar untuk membantu-bantu istrinya
memasak, karena rumah beliau hanya beberapa ratus
meter dari masjid.
Alhamdulillah, aku amat bersyukur ternyata Allah
mendengar do'aku. Aku ingat bahwa Allah tak akan
menguji hamba-Nya dengan beban yang melebihi kemampuan
manusia untuk memikul. Aku sudah bersyukur bisa
memperoleh tempat berteduh, walau itu hanya kamar
kecil yang jauh lebih kecil dibanding kamar mandiku
saat masih dirumah orang tuaku.
Ada lagi yang membuatku merasa tenang, yaitu tinggal
berdekatan dengan rumah Allah. Sehingga tiap aku
merasa sedih, aku tinggal masuk kedalam masjid dan
mengadu langsung kepada Allah. Karena tinggal dekat
masjid pula, otomatis shalatku tak sekalipun terlewat.
Alhamdulillah hidupku sedikit demi sedikit mulai
tenang. Aku sering membantu istri pak imam masjid
memasak dirumahnya, dan sebagai imbalannya beliau
selalu membekali makanan untuk aku bawa pulang.
Sehingga aku tak perlu risau memikirkan makanan
sehari-hari.
Kalau pak Imam sekeluarga ada keperluan keluar kota,
akulah yang dititipi untuk menjaga rumahnya, dan aku
bisa tinggal dirumahnya.
Sebenarnya mereka sudah menawari aku untuk tinggal
bersama mereka. Tapi aku tahu diri, aku tak mau terus
menerus merepotkan orang lain.
Pekerjaan rutinku tiap hari adalah membersihkan
halaman masjid, kaca-kaca jendela. Sedangkan pak tua
mengepel lantai masjid.
Tiap minggu aku mendapat honor sekedarnya dari hasil
kotak amal di masjid. Tapi kadang aku tak mendapat
sepeserpun, karena dana sudah habis untuk keperluan
masjid. Namun hal itu semua kulakukan dengan senang
hati dan ikhlas.
Sementara ini aku benar-benar ingin mengabdi pada
masjid ini, sebagai tanda terima kasihku. Aku tak mau
bersusah payah kesana kemari mencari pekerjaan.
Aku percaya, kelak masjid ini pula yang akan memberiku
jalan untuk memperoleh pekerjaan.
Kadang dimalam hari aku duduk-duduk diteras masjid,
mengobrol dengan pak tua. Dia bercerita kalau
anak-anaknya masih ada dikampung, tapi dia juga tak
mau merepotkan anak-anaknya. Selama masih kuat, dia
tak mau merepotkan orang lain.
Lalu saat giliran aku yang cerita, terkadang aku
bingung apa yang harus kuceritakan. Apakah aku akan
cerita kalau dulu aku pernah naik kapal pesiar
keliling Eropa atau aku pernah menginap di hotel mewah
di kota Las Vegas, atau aku pernah punya apartemen
mewah di Australia. Ahhh... pasti dia akan tertawa dan
menganggap aku berkhayal, sebab jangankan tinggal di
hotel, sedangkan sekarang ini uang yang kupunya tak
lebih dari 20 puluh ribu.
Dulu tiap minggu aku bisa membeli peralatan make up,
eye shadow, lipstick, dll dengan harga jutaan rupiah.
Sekarang ini make up-ku hanyalah air wudhu setiap aku
shalat. Tapi justru banyak yang mengatakan kalau
wajahku tetap bersih, cantik, alami. Kadang orang
berpikir aku masih memakai make up. Yahh..mungkin
Allah yang memakaikan make up untukku. Kecantikan itu
datangnya dari dalam, inner beauty.
Banyak yang mengatakan dengan mataku yang sipit dan
dibalik kerudung, aku malah terlihat cantik.
Tak terasa aku sudah hampir 2 tahun menetap
dimasjid ini, anakku sudah sekolah di SD dekat masjid,
milik suatu yayasan dan tanpa membayar sepeserpun.
Aku hanya membelikan seragam dan alat-alat sekolah.
Bahagianya hatiku ketika melihat anakku sudah masuk
sekolah. Ohh..andaikan mas Fariz masih ada dan melihat
anaknya dihari pertama pergi sekolah.
Anakku rupanya tumbuh besar dalam keprihatinan,
sehingga dia sangat tahu diri. Dia tak pernah
sekalipun merengek-rengek minta dibelikan ini itu
seperti layaknya anak-anak orang lain.
Pernah hatiku amat terenyuh ketika dia pulang sekolah
dengan kaki telanjang sambil menenteng-nenteng
sepatunya. Sambil tertawa tanpa mengeluh dia malah
menunjukkan sepatunya kepadaku,"Ma, sepatu Faisal udah
minta makan."
Maksudnya sudah robek bagian depannya, seperti mulut
yang minta makan. Melihat dia tertawa, akupun ikut
tertawa, walau hatiku terasa ingin menangis.
Andai dia tahu, dulu mamanya selalu memakai sepatu
berharga jutaan, tapi sekarang ini membelikan sepatu
yang murah untuk anak pun aku belum mampu.
Alhasil selama 2 hari anakku bila sekolah hanya pakai
sepatu robek itu, sampai akhirnya aku belikan sepatu
bekas yang masih layak pakai.
Aku bersyukur mempunyai anak yang tahu diri, tak mau
mebebani ibunya. Memang anak yang shaleh akan menjadi
bekal yang amat bernilai bagi orang tua.
Pak Imam masjid kadang datang menengok kami, dan
menanyakan keadaan kami.
Beliau sering bercerita bagaimana istri Nabi Muhammad
dulu hidupnya jauh lebih menderita, namun tetap tabah
menghadapi cobaan dan tak goyah keimanannya.
Beliau kadang berkata kalau aku pasti akan jadi ahli
surga. Berulangkali dia bilang kalau orang lain nggak
akan mungkin sanggup menghadapi cobaan ini, tapi aku
tetap bertahan memegang keyakinan, meninggalkan
kenikmatan dunia yang justru pernah aku peroleh.
Suatu siang, aku melihat ada mobil memasuki
halaman masjid. Dari dalam mobil itu keluar 2 orang
yang masih kukenal. Yang satu perempuan bernama tante
Grace, satunya lagi bernama om Albert.
Mereka adalah lawyer untuk perusahaan dan keluarga
kami.
Entah bagaimana mereka bisa tahu aku ada disini.
Mereka membawa satu bundel amplop, dan mengajakku
bicara. Aku bisa melihat mata tante Grace yang memerah
menahan air mata sewaktu melihat tempat tinggalku.
Bahkan oom Albert suaranya bergetar, tenggorokannya
seperti tersekat menahan sedih.
Mereka mengatakan kalau diutus oleh orang tuaku,
karena orang tuaku sudah tahu bagaimana keadaanku
sekarang. Mereka memberitahu kalau dalam amplop yang
mereka pegang itu berisi surat-surat bank, ATM,
ijazahku yang bisa aku miliki kembali.
Bahkan aku dijemput untuk pulang ke rumah papa mamaku.
Sejenak aku merasa bahagia, aku orang tuaku sudah
terbuka hatinya, aku bisa pergunakan uang yang cukup
banyak itu untuk hidup lebih baik lagi dengan anakku.
Tapi dengan suara terpatah-patah om Albert kemudian
melanjutkan, bahwa mama dan papa memberi syarat.
Ketika kutanyakan apa syaratnya itu, mereka berdua
nyaris tak sanggup melanjutkan pembicaraan. Tante
Grace makin menunduk menahan tangis. Akhirnya om
Albert mengatakan kalau syaratnya aku dan anakku harus
kembali ke keyakinan yang dulu kuanut.
Saat itu juga langsung kujawab,kalau aku tak akan mau
menerima amplop itu dan kuminta untuk mengembalikan
lagi kepada mereka. Mereka dengan sangat minta maaf
padaku, karena tahu aku tersinggung. Tapi aku juga
sadar mereka hanya menjalankan tugas.
Bahkan tante Grace menambahkan, andai bisa mengikuti
hati nurani pasti mereka sudah serahkan amplop itu
padaku tanpa syarat apapun, tapi mereka sungguh
terikat oleh profesi mereka.
Akhirnya mereka pamit meninggalkan aku, tapi beberapa
saat kemudian mereka balik kembali menemuiku.
Aku pikir mereka akan membujukku, namun ternyata
mereka berinisiatif memfotocopykan ijazah-ijazahku dan
menyerahkan copy-nya kepadaku. Ini mereka lakukan atas
inisiatif sendiri, walau mereka tahu resikonya bakal
kehilangan pekerjaan.
Mereka katakan hanya itu yang bisa mereka lakukan
untuk membantuku.
Oh terima kasih Tuhan. Sedikit demi sedikit Allah
memberiku jalan untukku.
Akhirnya aku punya bukti kalau dulu aku pernah sekolah
tinggi sampai keluar negeri.
Rupanya Tuhan sudah cukup mengujiku, dan sepertinya
aku mulai diberikan rewards atas ketabahanku selama
ini. Tuhan mulai memberikan jalan yang terang untukku.
Suatu pagi, di halaman masjid tampak 2 orang
perempuan yang sedang mengamati bangunan masjid. Yang
satu perempuan bule entah dari mana, satunya lagi
perempuan lokal.
Kebetulan pak tua sedang di halaman, sehingga mereka
menghampirinya.
Masjid ini memang unik, karena merupakan bangunan tua
dengan arsitektur melayu kuno, sehingga kadang sering
dikunjungi orang, dan biasanya pak tua lah yang jadi
juru bicaranya, karena memang dialah yang tahu akan
sejarah masjid ini.
Akupun banyak mendapat cerita dari pak tua tentang
masjid tersebut, sehingga aku tahu banyak pula tentang
sejarah masjid ini.
Aku hanya memperhatikan dari jauh ketika dua orang
pengunjung itu ngobrol dengan pak tua, sampai akhirnya
aku lihat si bule agak kebingungan.
Didorong oleh rasa ingin tahu, aku hampiri mereka.
Dengan sopan aku memperkenalkan diri, dan menawarkan
diri untuk membantu. Ternyata si bule itu adalah
mahasiswi arsitektur dari Australia yang sedang study,
sedangkan pendampingnya adalah mahasiswi dari univ.T
di kotaku yang bertugas sebagai penterjemah, panggil
saja dengan 'Retno'.
Rupanya Retno ini kurang lancar berbahasa Inggris,
sehingga membuat si bule kadang-kadang kebingungan
mendengar terjemahan cerita dari pak tua. Dengan sopan
pula aku ajukan diri untuk membantu si bule itu.
Dengan bahasa Inggrisku yang lancar, aku ceritakan
dari awal sampai akhir semua hal tentang masjid itu tsb.
Aku ajak pula mereka berkeliling ke tiap sudut masjid.
Si bule tambah takjub ketika kukatakan aku pernah
studi di negerinya.
Retno terus memandangiku setengah tak percaya tentang
diriku. Setelah puas mendapatkan informasi lengkap,
mereka pamitan. Namun sebelum pulang, Retno berjanji
akan menemuiku lagi, katanya ada yang ingin dia
tanyakan lebih banyak lagi tentang diriku. Aku dengan
senang hati akan menerima kedatangannya kapan saja.
Beberapa hari kemudian Retna benar-benar menepati
janjinya. Kali ini dia sama sekali tidak membicarakan
tentang arsitektur masjid, tapi tentang diriku.
Dia amat ingin tahu tentang aku. Akhirnya kuceritakan
dari awal sampai saat perjalanan hidupku ini.
Dia amat bersimpati dan ingin berkeinginan menolongku.
Walau aku tidak mengharapkan pertolongan orang lain,
tapi aku hargai niatnya untuk membantuku.
Dia mengatakan dengan pendidikan dan kemahiranku
berbahasa asing, pasti aku akan mendapatkan pekerjaan.
Apalagi aku sekarang sudah memiliki bukti fotocopy
ijazahku. Kira-kira seminggu kemudian dia kembali
datang dan menyuruhku membuat surat lamaran, bahkan
dia sendiri yang membawa kertas dan amplopnya.
Dia katakan kalau rektorat universitas memerlukan
beberapa tenaga honorer. Aku terharu ada orang lain
yang peduli mau mambantuku tanpa pamrih, aku ucapkan
banyak terima kasih kepadanya.
Bagiku dia seperti diutus Tuhan untuk menolongku. Tak
lama kemudian aku mendapat kabar gembira.
Aku dipanggil menghadap ke rektorat universitas untuk
test dan wawancara. Sebelum berangkat aku shalat dulu
untuk memohon kepada Allah agar diberi kelancaran.
Faisal aku titipkan pada pak tua yang sudah aku anggap
sebagai orang tuaku sendiri.
Alhamdulillah semua test aku lewati dengan lancar,
malah sewaktu wawancara bahasa Inggris justru akulah
yang lebih menguasai ketimbang yang mewawancaraiku.
Dia sampai menyerah, dan mengatakan bahasa Ingrrisku
sudah perfect melebihi kemampuan dia.
Tidak sampai seminggu Retno kembali datang, kali ini
dia nampak gembira sekali. Dia katakan dalam beberapa
hari lagi aku akan mendapat surat dari rektorat, yang
isinya penerimaaanku sebagai karyawan.
Dia bisa tahu lebih dahulu karena ada temannya yang
bekerja disana. Langsung aku menuju masjid dan
bersujud syukur lama sekali.
aku merasa telah lulus test yang diujikan Allah
terhadapku.
Memang kadangkala aku sering bertanya kepada Allah,
apakah karena aku muallaf sehingga Allah kurang
percaya dengan keimananku, sehingga perlu diuji-Nya
dengan ujian yang amat berat.
Walau sebagai karyawan honorer tapi aku sudah
bersyukur, yang penting aku sudah mendapat penghasilan
yang layak. Tugasku yang membantu bagian keuangan di
rektorat memang sesuai dengan ilmuku, tapi orang mulai
banyak yang tahu kalau aku lulusan luar negeri. Setiap
ada seminar dan memerlukan makalah dalam bahasa
Inggris pasti aku yang diberikan tugas tambahan untuk
menyusunnya.
Akupun banyak membantu menterjemahkan
literatur-literatur asing untuk dipergunakan para
mahasiswa.
Nyaris sejak 3 tahun terakhir, aku tidak pernah beli
baju baru. Sekarang aku sudah bisa beli baju baru
lagi.
Bukan main senangnya hatiku ketika dapat membelikan
pakaian yang bagus-bagus untuk anakku. Bahagia rasanya
melihat anakku bisa aku beri pakaian yang layak.
Baju sekolahnya yang sudah menguning, telah kuganti
dengan baju baru yang putih bersih. Sepatunya yang
dulu robek, masih kusimpan hingga sekarang sebagai
kenangan.
Beberapa bulan kemudian aku sudah mampu mengontrak
rumah sendiri. Sebelum meninggalkan masjid, tak lupa
aku berpamitan dulu kerumah pak Imam masjid. Aku
ucapkan banyak terima kasih atas pertolongannya, tapi
beliau mengatakan yang menolong bukan dia tetapi Allah
SWT yang menolongku.
Aku peluk beliau lama sekali, kukatakan dulu aku
mengucapkan syahadat didepan beliau dan aku tak akan
mengingkarinya seumur hidupku apapun yang terjadi.
Sebelum pergi, aku pandangi kamarku untuk terakhir
kalinya. Sempat aku tertegun beberapa menit,
membayangkan mungkin kelak ruangan ini akan dipakai
oleh orang-orang yang senasib sepertiku.
Ya Allah, berilah aku kekuatan.
Setelah berhasil melewati berbagai cobaan, Allah
nampaknya terus menerus memberikan semacam rewards
untukku. Belum genap setahun bekerja, rektorat memberi
kabar kalau statusku akan ditingkatkan menjadi
karyawan tetap. Bahkan beberapa dosen senior sudah
menawariku untuk membantu mengajar.
Memang rekan-rekan kerjaku mengatakan kalau karierku
bakal amat bagus, karena orang dengan kemampuan
sepertiku amat dibutuhkan. Mereka bilang kesuksesanku
hanya tinggal menunggu waktu saja. Aku hanya bisa
mengucap Alhamdulillah.
Kalau dulu aku sering berdo'a dengan linangan air mata
kesedihan, sekarangpun aku masih sering menangis
ketika berdo'a, tapi kali ini aku menangis karena
bahagia.
Sampai saat ini aku masih sendirian. Aku bertekad
akan membesarkan anakku sebaik-baiknya, sampai saat
ini aku merasa masih istri dari mas Fariz.
Sulit rasanya mencari pengganti mas Fariz di hati ini.
Seperti pernah kukatakan, dia bukan hanya seorang
suami tapi dialah soulmate-ku, dia tak akan pernah
tergantikan oleh siapapun. Entahlah kalau Allah
mempunyai rencana lain untukku.
Setiap memandang anakku, aku seperti melihat mas
Fariz. Sepertinya dia masih mendampingiku.
Alhamdulillah, dengan penghasilanku kini aku
mampu membeli sepeda motor untuk transportasi. Kadang
di akhir pekan aku memboncengkan anakku jalan-jalan
rekreasi.
Kadangkala aku sengaja lewat depan rumah orang tuaku,
sambil aku katakan pada Faisal itulah rumah opa dan
oma. Sering anakku bertanya,"Ma, kapan kita pergi main
kerumah opa dan oma?"
Aku tak bisa menjawabnya, aku hanya bisa menahan air
mataku agar tidak keluar.
Walaupun begitu aku terus berdo'a, semoga suatu saat
kelak kedua orangtuaku dibukakan pintu hatinya.
Kalaupun tidak mau menerima aku, aku mohon terimalah
Faisal anakku, cucunya sendiri, dan darah daging
mereka sendiri. Amin.
Wassalam,
Mawar.
Diceritakan kembali oleh Retno (2508) di kota X
Senin, 31 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar